Di era Soekarno, Istana Bogor menjadi tempat presiden RI pertama ini untuk rehat melepas lelah dan penat. Di sana pula tempat ia melepas rindu dan bercumbu mesra dengan istri dan anaknya.
Wajah Hartini nampak heran saat melihat suaminya, Soekarno, kembali ke istana pada waktu yang tidak biasa. Helikopter yang dinaiki Soekarno mendarat di lapangan Istana sekitar pukul 11.00 siang. Waktu yang tidak biasa bagi Hartini melihat Soekarno datang ke istana menjelang tengah hari. Presiden RI pertama itu memang rutin mendatangi Istana Bogor setiap hari Jumat untuk istirahat dan bertemu istri-istrinya. Soekarno biasanya menginap dan kembali ke Istana Merdeka di Jakarta pada Senin pagi.
Kok, siang-siang begini datang, biasanya kan sore, pikir Hartini sambil keluar paviliun menyambut suami kebanggaannya.
Soekarno baru saja terbang dari Jakarta bersama ajudan dan pengawalnya Brigjen Sabur yang juga merupakan Komandan Resimen Cakrabirawa (satuan pengawal presiden). Sambil berjalan menuju paviliun, Soekarno menampakkan wajah yang tidak ceria. Ada raut kecewa bercampur khawatir di mimik mukanya. Ia masih memakai pakaian khas negarawan: peci, seragam presiden abu-abu, dan tak lupa tongkatnya.
Pagi-pagi kok sudah ada di Bogor, Mas? tanya Hartini yang masih heran dengan sikap dan mimik wajah Soekarno yang tidak seperti biasanya.
Tien, keadaan genting, jawab Soekarno seraya berjalan menuju kamar. Ia kemudian berganti pakaian, salat zuhur dan makan siang.
Hari itu, Jumat tanggal 11 Maret 1966, memang bukan hari yang menggembirakan bagi Soekarno. Kedatangannya di Istana Bogor lebih awal dari biasanya bukan tanpa alasan. Ia baru saja meninggalkan rapat kabinet di Istana Merdeka Jakarta. Rupanya rapat kabinet yang ia gelar tidak berjalan mulus. Jakarta sedang ricuh hingga terasa panas dirasa Soekarno. Maka, Istana Bogor pun menjadi pelarian saat ia gerah menghadapi hiruk pikuk suasana pemerintahan.
Hartini adalah salah satu istri yang setia dan sangat dicintai Soekarno. Bernama lengkap Siti Suhartini, janda kelahiran Ponorogo-Jawa Timur ini, dinikahi Soekarno pada malam Rabu 7 Juli 1954 di Istana Cipanas. Sebelumya Soekarno sudah menikahi Utari, Inggit, dan Fatmawati. Dengan Utari dan Inggit pernikahan Soekarno tidak bertahan lama. Konon, ada yang mencatat Soekarno telah menikahi sembilan orang istri. Inggit minta cerai saat Soekarno akan menikahi Fatmawati.
Pernikahan Soekarno dengan Hartini merupakan pernikahan yang paling sensasional karena menimbulkan cekcok antara Soekarno dengan Fatmawati. Setelah akad, Soekarno memboyong Hartini ke Istana Bogor. Fatmawati yang sudah tinggal lama lebih dulu di istana nampak cemburu berat melihat kedatangan istri barunya Soekarno. Demi menjaga perasaan Fatmawati, Soekarno membangunkan paviliun khusus untuk Hartati tak jauh dari Istana. Setahun kemudian, Fatmawati memutuskan untuk pindah ke Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan.
Saat keadaan politik dalam negeri kisruh, utamanya di tahun 1966, Soekarno ditinggalkan para pengikutnya. Ia juga digerogoti berbagai penyakit dan menjalani pemeriksaan rutin. Cenderung dikucilkan, Soekarno tidak lagi kelihatan sibuk. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di paviliun Istana Bogor bersama anak dan istrinya. Hingga pada tahun 1967, Soeharto memaksa Soekarno dan keluarganya untuk meninggalkan istana dalam waktu 2x24 jam. Soekarno kemudian pindah ke sebuah rumah di kawasan Batutulis, Bogor.
Menggambarkan bagaimana Soekarno di Istana Bogor, Rachmawati (salah satu anak Soekarno) dalam bukunya yang berjudul Bapakku Ibuku, menulis: Hanya di sini (Istana Bogor) Bapak menemukan kembali suasana bersuami istri, semenjak kepergian ibuku dari istana di Jakarta.
Wajah Hartini nampak heran saat melihat suaminya, Soekarno, kembali ke istana pada waktu yang tidak biasa. Helikopter yang dinaiki Soekarno mendarat di lapangan Istana sekitar pukul 11.00 siang. Waktu yang tidak biasa bagi Hartini melihat Soekarno datang ke istana menjelang tengah hari. Presiden RI pertama itu memang rutin mendatangi Istana Bogor setiap hari Jumat untuk istirahat dan bertemu istri-istrinya. Soekarno biasanya menginap dan kembali ke Istana Merdeka di Jakarta pada Senin pagi.
Kok, siang-siang begini datang, biasanya kan sore, pikir Hartini sambil keluar paviliun menyambut suami kebanggaannya.
Soekarno baru saja terbang dari Jakarta bersama ajudan dan pengawalnya Brigjen Sabur yang juga merupakan Komandan Resimen Cakrabirawa (satuan pengawal presiden). Sambil berjalan menuju paviliun, Soekarno menampakkan wajah yang tidak ceria. Ada raut kecewa bercampur khawatir di mimik mukanya. Ia masih memakai pakaian khas negarawan: peci, seragam presiden abu-abu, dan tak lupa tongkatnya.
Pagi-pagi kok sudah ada di Bogor, Mas? tanya Hartini yang masih heran dengan sikap dan mimik wajah Soekarno yang tidak seperti biasanya.
Tien, keadaan genting, jawab Soekarno seraya berjalan menuju kamar. Ia kemudian berganti pakaian, salat zuhur dan makan siang.
Hari itu, Jumat tanggal 11 Maret 1966, memang bukan hari yang menggembirakan bagi Soekarno. Kedatangannya di Istana Bogor lebih awal dari biasanya bukan tanpa alasan. Ia baru saja meninggalkan rapat kabinet di Istana Merdeka Jakarta. Rupanya rapat kabinet yang ia gelar tidak berjalan mulus. Jakarta sedang ricuh hingga terasa panas dirasa Soekarno. Maka, Istana Bogor pun menjadi pelarian saat ia gerah menghadapi hiruk pikuk suasana pemerintahan.
Hartini adalah salah satu istri yang setia dan sangat dicintai Soekarno. Bernama lengkap Siti Suhartini, janda kelahiran Ponorogo-Jawa Timur ini, dinikahi Soekarno pada malam Rabu 7 Juli 1954 di Istana Cipanas. Sebelumya Soekarno sudah menikahi Utari, Inggit, dan Fatmawati. Dengan Utari dan Inggit pernikahan Soekarno tidak bertahan lama. Konon, ada yang mencatat Soekarno telah menikahi sembilan orang istri. Inggit minta cerai saat Soekarno akan menikahi Fatmawati.
Pernikahan Soekarno dengan Hartini merupakan pernikahan yang paling sensasional karena menimbulkan cekcok antara Soekarno dengan Fatmawati. Setelah akad, Soekarno memboyong Hartini ke Istana Bogor. Fatmawati yang sudah tinggal lama lebih dulu di istana nampak cemburu berat melihat kedatangan istri barunya Soekarno. Demi menjaga perasaan Fatmawati, Soekarno membangunkan paviliun khusus untuk Hartati tak jauh dari Istana. Setahun kemudian, Fatmawati memutuskan untuk pindah ke Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan.
Saat keadaan politik dalam negeri kisruh, utamanya di tahun 1966, Soekarno ditinggalkan para pengikutnya. Ia juga digerogoti berbagai penyakit dan menjalani pemeriksaan rutin. Cenderung dikucilkan, Soekarno tidak lagi kelihatan sibuk. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di paviliun Istana Bogor bersama anak dan istrinya. Hingga pada tahun 1967, Soeharto memaksa Soekarno dan keluarganya untuk meninggalkan istana dalam waktu 2x24 jam. Soekarno kemudian pindah ke sebuah rumah di kawasan Batutulis, Bogor.
Menggambarkan bagaimana Soekarno di Istana Bogor, Rachmawati (salah satu anak Soekarno) dalam bukunya yang berjudul Bapakku Ibuku, menulis: Hanya di sini (Istana Bogor) Bapak menemukan kembali suasana bersuami istri, semenjak kepergian ibuku dari istana di Jakarta.
sumber : merdeka.com
0 komentar:
Post a Comment