Prasasti Sangguran dari tahun 928 Masehi yang berasal dari wilayah sekitar Malang, Jawa Timur diinformasikan telantar di Inggris. Bagaimana penampakan telantarnya prasasti yang populer disebut Minto Stone itu di Inggris?
Nama 'Minto Stone' disematkan karena prasasti itu berada dalam penguasaan bangsawan Inggris, Lord Minto, sejak tahun 1814. Dalam foto dan dokumen yang dikirimkan oleh sejarawan Inggris, Peter Brian Ramsay Carey pada detikcom, tampak prasasti itu berada di pekarangan, di luar ruangan, dan dengan kondisi yang berlumut. Pekarangan itu adalah milik keluarga bangsawan Inggris, Lord Minto, di kawasan Hawick, Roxburghshire di perbatasan Skotlandia dan Inggris.
Nama 'Minto Stone' disematkan karena prasasti itu berada dalam penguasaan bangsawan Inggris, Lord Minto, sejak tahun 1814. Dalam foto dan dokumen yang dikirimkan oleh sejarawan Inggris, Peter Brian Ramsay Carey pada detikcom, tampak prasasti itu berada di pekarangan, di luar ruangan, dan dengan kondisi yang berlumut. Pekarangan itu adalah milik keluarga bangsawan Inggris, Lord Minto, di kawasan Hawick, Roxburghshire di perbatasan Skotlandia dan Inggris.
Ada beberapa foto Prasasti Sangguran yang diabadikan. Seperti foto close up yang diambil dari dokumen laporan ilmiah yang ditulis Nigel Bullough pada 5 Mei 2005, "THE ‘MINTO STONE’ Its History and Significance and a Plan for its Restitution", tampak bahwa prasasti itu diukir. Huruf ukirannya seperti aksara Jawa.
Dalam laporan Bullough, prasasti itu dideskripsikan "A Stone engraved on both sides, with Ancient Characters, in a high state of preservation." (Batu yang diukir di kedua sisinya, dengan karakter kuno dengan kondisi yang masih sangat terawat).
Kemudian tampilan utuh prasasti tersebut, diambil oleh sejarawan Nigel Bullough tahun 2006 di pekarangan rumah milik keluarga Lord Minto, memiliki tinggi sekitar 2 meter.
Kemudian tampilan utuh prasasti tersebut, diambil oleh sejarawan Nigel Bullough tahun 2006 di pekarangan rumah milik keluarga Lord Minto, memiliki tinggi sekitar 2 meter.
Kemudian ada pula foto yang diambil sejarawan dari London Metropolitan University, Profesor Michael Hitchcock, yang mengunjungi prasasti ini lebih dulu pada Oktober 2004 atas izin dari Viscount Melgund (gelar kebangsawanan keturunan keluarga Lord Minto).
Hitchcock, dilaporkan Bullough, menggambarkan bahwa prasasti itu dalam kondisi mengenaskan di bawah iklim Skotlandia. Prasasti dua sisi itu menghadap ke selatan-utara. Sisi selatan menghadap ke Sungai Teviot, dideskripsikan telah mengalami pelapukan yang cukup serius, teksnya tidak terbaca jelas seperti yang terukir pada sisi utara.
"Batu itu dimahkotai dengan dengan lapisan lumut, jika diamati, mungkin terlihat menarik sebagai ornamen taman. Tapi hampir tidak memuaskan dari sudut pandang konservasi," demikian pendapat Hitchcock seperti ditulis Bullough.
Singkatnya, tulis Bullough, Minto Stone membutuhkan perhatian profesional. Keprihatinan yang sama telah dinyatakan oleh sejarawan asal Jepang,
Profesor Kozo Nakada yang pernah mengunjungi Minto Stone ini pada 1999 lalu. Saat berkunjung, Nakada menyalin isi prasasti itu dengan teknik penggosokan (seperti menggosok kertas putih pada permukaan uang logam). Nakada, seperti dikutip dari laporan Bullough, juga mengungkapkan kekhawatirannya atas kondisi prasasti itu, yang menurut Nakada 'tidak baik di bawah iklim Skotlandia'.
Sedangkan sejarawan Inggris, Peter Carey mendeskripsikan telantarnya prasasti itu. "Dan prasasti ini diletakkan di luar rumah, di samping kebun, kena hujan, terik matahari. Itu sama sekali tidak tepat untuk satu benda yang berharga seperti itu," jelas Peter saat ditemui usai Curator's Talk pameran 'Aku Diponegoro' di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Jumat (6/2/2015).
Minto Stone, dari laporan Bullough, berasal dari tahun 928 Masehi, yang tertera jelas pada prasasti. Kasus Minto Stone ini unik, karena sangatlah langka bahwa prasasti Jawa yang jelas tertera tanggalnya, dipindahkan dari Indonesia. Menurut catatan Bullough, hanya ada 3 prasasti yang tertera jelas masanya dipindahkan dari Indonesia.
Selain Minto Stone, dua prasasti lain adalah Prasasti Pucangan atau Prasasti Airlangga 1041 yang berada di Museum India di Kalkuta dan Prasasti Palmaran dari Abad ke-14 yang berada di Museum voor Volkenkunde, Leiden Belanda.
Kembali ke Minto Stone, dalam prasasti itu tertera nama Raja Jawa, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sari Wijayamokanamottungga, yang memerintah di sekitar Malang. Prasasti itu mengandung ancaman, atau kutukan bagi pengurus desa dan penduduk Sangguran yang berbuat jahat, maka akan mendapatkan karma jelek, mati dengan mengerikan. Kutukan itu menyebutkan bahwa yang berbuat jahat mati dengan dibelah kepalanya, ususnya terburai, hidungnya dipotong dan hal-hal mengerikan lainnya.
Nah, pada tahun 1812, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Thomas Stamford Raffles memindahkan batu itu ke Kalkuta, India. Kemudian menyerahkan pada atasannya, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto. Sejak itu, prasasti itu menjadi bagian dari keluarga Minto, dan dinamakan Minto Stone, di rumah keluarga Minto, Hawick, Skotlandia.
Mengapa Prasasti Sangguran atau Minto Stone ini penting? Menurut Wikipedia, Raja Dyah Wawa adalah Raja Mataram yang terakhir di Jawa Tengah. Sedangkan penerusnya, Mpu Sindok, memindahkan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Alasan pindah dari Jateng ke Jatim itulah yang belum diketahui. Prasasti ini diharapkan bisa melengkapi puzzle mengenai alasan perpindahan kerajaan Mataram dari Jateng ke Jatim.
Minto Stone, dari laporan Bullough, berasal dari tahun 928 Masehi, yang tertera jelas pada prasasti. Kasus Minto Stone ini unik, karena sangatlah langka bahwa prasasti Jawa yang jelas tertera tanggalnya, dipindahkan dari Indonesia. Menurut catatan Bullough, hanya ada 3 prasasti yang tertera jelas masanya dipindahkan dari Indonesia.
Selain Minto Stone, dua prasasti lain adalah Prasasti Pucangan atau Prasasti Airlangga 1041 yang berada di Museum India di Kalkuta dan Prasasti Palmaran dari Abad ke-14 yang berada di Museum voor Volkenkunde, Leiden Belanda.
Kembali ke Minto Stone, dalam prasasti itu tertera nama Raja Jawa, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sari Wijayamokanamottungga, yang memerintah di sekitar Malang. Prasasti itu mengandung ancaman, atau kutukan bagi pengurus desa dan penduduk Sangguran yang berbuat jahat, maka akan mendapatkan karma jelek, mati dengan mengerikan. Kutukan itu menyebutkan bahwa yang berbuat jahat mati dengan dibelah kepalanya, ususnya terburai, hidungnya dipotong dan hal-hal mengerikan lainnya.
Nah, pada tahun 1812, Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Thomas Stamford Raffles memindahkan batu itu ke Kalkuta, India. Kemudian menyerahkan pada atasannya, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto. Sejak itu, prasasti itu menjadi bagian dari keluarga Minto, dan dinamakan Minto Stone, di rumah keluarga Minto, Hawick, Skotlandia.
Mengapa Prasasti Sangguran atau Minto Stone ini penting? Menurut Wikipedia, Raja Dyah Wawa adalah Raja Mataram yang terakhir di Jawa Tengah. Sedangkan penerusnya, Mpu Sindok, memindahkan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Alasan pindah dari Jateng ke Jatim itulah yang belum diketahui. Prasasti ini diharapkan bisa melengkapi puzzle mengenai alasan perpindahan kerajaan Mataram dari Jateng ke Jatim.
source : detik.com
0 komentar:
Post a Comment